Senin, 02 Mei 2016

“Manuk Hiber ku Jangjangna, Manusa Hirup ku Akalna”

Bagi sebagian orang apalagi orang non-Sunda, ungkapan manuk hiber ku jangjangna, manusa hirup ku akalna mungkin terasa asing. Jika dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, ungkapan tersebut sama dengan burung terbang dengan sayapnya, manusia hidup dengan akalnya. Pribahasa Sunda tersebut memiliki makna bahwasannya manusia harus terus berusaha dalam mencapai apa yang dicita-citakannya atau dengan kata lain hirup jeung huripna. Pribahasa Sunda di ataslah yang menjadi pemicu saya untuk tetap belajar dalam keadaan apapun termasuk dalam sebuah keterbatasan ekonomi keluarga.
Ranu. Demikian orang memanggil saya. Saya anak ketiga dari tiga bersaudara. Ketika saya berumur 5 tahun, ayah saya meninggal dunia karena penyakit yang dideritanya.  Sejak itulah saya hidup dengan ibu dan kakak saya yang umurnya terpaut jauh dengan saya. Meskipun hanya bekerja sebagai buruh tani, tapi ibu saya terus bekerja keras demi menyekolahkan  saya sampai akhirnya saya bisa lulus dari SD dan SMP.
Ketika saya mau melanjutkan sekolah ke SMA, saya sempat merasa kebingungan karena pada waktu itu biaya untuk masuk SMA Negeri di tempat saya mencapai 2 juta rupiah. Untuk mencapai uang tersebut tidaklah semudah membalikan telapak tangan, apalagi hanya mengandalkan penghasilan ibu yang hanya buruh serabutan dan penghasilan yang tidak tetap. Akhirnya pada waktu itu saya memutuskan untuk bekerja menajdi pelayan di sebuah rumah makan. Baru saja seminggu bekerja, saya mendapat sms dari guru bahasa Inggris di sekolah yang isinya tawaran mendapatkan beasiswa dari pemerintah Jawa Barat dengan diasramakan dan disekolahkan di SMAN 1 Cisarua-Kab. Bandung Barat. Akhirnya saya mencobanya. Berbagai seleksi saya lewati, mulai dari seleksi administrasi, akademik, psikotes, kesehatan sampai ke tes pisik. Sungguh penyaringan yang begitu ketat. Setelah melewati berbagai tahap, akhirnya saya dinyatakan lulus dan diberi kesempatan untuk bersekolah dengan beasiswa biaya sekolah, keperluan hidup sehari-hari, uang saku, semuanya ditanggung seratus persen oleh Yayasan Darmaloka yang berada di bawah naungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Setelah Lulus dari SMA, keinginan masuk perguruan tinggi pun mulai menggebu dalam hati saya. Latar belakang ekonomi yang pas-pasan membuat saya berpikir ulang dan berusaha untuk terus dapat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi tanpa membebani ibu.
Apa yang bisa dilakukan ketika keterbatasan seakan menjelma menjadi tembok besar dan ketakutan adalah anak panah berapi yang terus dilontarkan kepada kita sehingga kita tidak berani maju dan memilih untuk mundur? Memang hidup dalam keterbatasan sandang, pangan maupun papan itu memang tidak mudah. Saya hanya bisa menerima kenyataan bahwa jalan tidak lagi mulus, lapangan pertempuran saya jelek dan amunisi yang saya punya pun tidak lengkap. Tapi menerima “gigitan” itu berguna untuk membuat kita mampu menyusun strategi baru. Menghindari atau lari darinya justru membuat kita terlena mengasihi diri kita terus-menerus dan menenggelamkan kemampuan kita untuk dapat melawan balik.
Setelah itu saya pun mulai mencari peluang masuk perguruan tinggi yang saya minati. Pada waktu itu saya mencoba daftar ke UPI lewat jalur PMDK dengan pilihan Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah. Berkat doa ibu akhirnya saya dinyatakan lulus seleksi PMDK. Setelah dinyatakan lulus PMDK, masalah lain pun datang menghinggapi. Saya tidak bisa membayar uang registrasi sebesar enam juta rupiah, sehingga saya menjadi bagian satu dari sekian banyak yang penangguhan.
Pucuk di cinta ulam pun tiba. Pada waktu itu ada berita tentang beasiswa bidik misi yang konon katanya beasiswa penuh selama S1. Saya pun mencobanya, hingga sampai akhirnya saya pun lolos seleksi dan mendapatkan beasiswa bidik misi tersebut. Bisa kuliah dengan biaya ditanggung pemerintah menjadi sebuah anugrah dan beban bagi saya. Saya yakin bahwasannya uang yang digunakan sebagai biaya pendidikan saya adalah uang yang berasal dari jutaan warga bangsa ini yang harus saya pertanggung jawabkan.
Sesuai dengan ungkapan manusa hirup ku akalna, maka saya mencoba mengubah beban dan tanggung jawab tadi menjadi sebuah cambuk untuk menjadi seorang mahasiswa yang aktif dan berkarya. Selama kuliah saya berkecimpung dalam berbagai kegiatan baik itu di dalam kampus maupun di luar kampus. Tiga tahun saya menjadi pengurus BEM Hima Pensatrada termasuk satu tahun menjabat sebagai sekretaris umum. Dua tahun menjadi wakil ketua forum komunikasi BEM se-FPBS. Bekal keorganisasian tersebut menjadikan saya berani untuk menjadi ketua atau Event Organizer (EO) diberbagai kegiatan yang cakupannya se-Jawa Barat, di antaranya Riksa Budaya Sunda 2013, Gebyar Aksara 2013 sebagai Program Tahunan Disparbud Prov. Jawa Barat, Musyawarah Guru Bahasa Daerah se-Jawa Barat yang merupakan Program Insidental Dinas Pendidikan Prov. Jawa Barat serta sebagai koordinator aksi penolakan kurikulum 2013.
Selama kuliah saya pun mencoba mengikuti berbagai pasanggiri dan hasilnya tidak terlalu mengecewakan. Juara 1 Pidato Bahasa Indonesia tk Bandung Raya; Juara 1 Pidato Basa Sunda tk Bandung Barat; Juara 2 Debat Basa Sunda tk Jawa Barat; dan Juara harapan 1 Pidato Basa Sunda tk Parahyangan Timur pernah saya raih. Selain itu juga saya mencoba untuk menuliskan ide saya dalam beberapa tulisan ilmiah, di antaranya “Kaus sebagai Media Potensial Penyebarluasan Babasan dan Paribasa Aksara Sunda. Dibuat tahun 2012”; “Burayot Aneka Rasa: Upaya Pelestarian Makanan Tradisional berbasis Kesehatan. Dibuat tahun 2013”; “Mini Buku “Parigel Basa”: Tuntunan Undak-Usuk Basa dan Aksara Sunda. Dibuat tahun 2011”; dan “Jurnal Media Strip Story dalam Pembelajaran Aksara Sunda. Dibuat tahun 2014”.
Setelah 3 tahun 6 bulan akhirnya saya pun dinyatakan lulus sebagai seorang sarjana pendidikan dengan IPK 3,83/Cum laude. Program beasiswa bidik misi telah merubah bocah ingusan menjadi seorang wisudawan (sarjana), Sungguh kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Inilah bukti nyata kepeduliaan pemerintah terhadap anak-anak bangsa yang hampir saja kehilangan masa depannya. Terima kasih pemerintah, semoga bisa terus berjuang untuk rakyat, untuk anak bangsa yang masih banyak dijajah dengan kebodohan ilmu pengetahuan.  
Akhir kata, saya berpesan kepada rekan-rekan jangan pernah lelah untuk terus mengejar mimpi. Mimpi tidak akan pernah mati. Manusia bisa dibungkam, dilumpuhkan, bahkan dibunuh, tapi mimpi tetap akan hidup. Ketika keterbatasan dan ketakutan melanda, mimpi kita mungkin pecah, runtuh, dan berserakan, tapi tidak akan hilang. Dengan usaha keras kita bisa menyusunnya kembali dan ketika mimpi telah kembali utuh, maka ia akan hidup, menyala, dan memberikan cahaya terhadap pilihan jalan yang akan kita tempuh untuk mewujudkannya.

Diterbitkan oleh pikiran rakyat 16 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar